Benyamin Sueb, aktor dan seniman jenius itu, barangkali akan sibuk diprotes dan dianggap merusak moral anak bangsa jika memerankan Betty Bencong Slebor hari ini. Film yang dibikin 1978 menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia saat film itu dibikin demikian toleran dengan kelompok minoritas.
Fragmen di mana Pak Haji yang membela Betty ketika diganggu orang menunjukkan saat itu kelompok transgender tak dianggap sebagai masalah.
Dimas Jayasrana di Cinema Poetica menyebut film ini penuh dengan adegan slapstick bertabur one liner ajaib ala Benyamin. Ia benar. Tapi Benyamin tak hanya sekadar menghadirkan humor, ia menghadirkan realitas sosial yang jauh dari kesan buas terhadap perbedaan.
Tapi Indonesia kini tak sama dengan apa yang ada dalam gambaran film Benyamin itu. Komunitas LGBT rentan mengalami diskriminasi. Pada Agustus lalu, Human Rights Watch menurunkan laporan tentang ancaman terhadap kelompok LGBT, dimulai dari berbagai pernyataan pejabat di negeri ini sampai tindakan ancaman ekstrajudisial yang dilakukan kelompok intoleran.
Saat ini, menurut PBB ada 76 negara menganggap hubungan sesama jenis sebagai tindakan ilegal dan di tujuh negara, hubungan seperti itu bisa dikenakan hukuman mati. Kanada, didukung oleh Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Meksiko, telah mendorong agar pengakuan bagi kaum LGBT dan keberadaan homofobia disertakan dalam sebuah dokumen kebijakan yang akan diselesaikan pada konferensi tingkat tinggi PBB di Ekuador.
Namun ada kelompok 17 negara memblokir rencana yang akan menyertakan hak LGBT dalam strategi baru PBB. Di mana posisi Indonesia?
Presiden Joko Widodo kepada BBC mengatakan bahwa Indonesia menghormati hak asasi manusia yang dimiliki kelompok LGBT, tapi dengan catatan. Menurutnya ada ‘norma sosial’ yang masih sangat kuat dan perlu dihormati. Ia mengklaim bahwa di Indonesia tidak ada diskriminasi untuk minoritas, baik yang terkait dengan etnis maupun agama. Semuanya akan diberikan perlindungan.
Joko Widodo juga menjelaskan sikapnya terkait orientasi seks, khususnya homoseksualitas. Ia menegaskan tidak perlu melakukan perubahan hukum terkait kelompok ini. Bagaimana jika ada kalangan minoritas yang terancam?
"Polisi harus bertindak. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapa pun," katanya.
Tapi pada praktiknya banyak pejabat publik yang selama ini secara terbuka menolak keberadaan LGBT. Dan mereka bukan sembarang pejabat. Awal tahun ini, Ketua MPR Zulkifli Hasan menyatakan bahwa LGBT tidak sesuai dengan kebudayaan kita.
"Kita harus bersikap. Gerakan (LGBT) harus kita tolak karena melanggar hukum," katanya seperti dilansir Antara.
Statemen serupa juga diikuti oleh anggota DPR Reni Marlinawati dan Nasir Djamil. Salah satu yang paling menghebohkan adalah pernyataan Menteri Pendidikan Muhammad Nasir yang menyebutkan bahwa kegiatan yang dianggap mempromosikan LGBT mesti dijauhkan dari kampus.
"Masa kampus untuk itu? Ada standar nilai dan standar susila yang harus dijaga. Kampus adalah penjaga moral," kata Menteri Nasir.
Indonesia bukan satu-satunya negara di dunia yang masih paranoid terhadap kelompok LGBT. Di PBB, Belarusia memimpin 17 negara yang berusaha memblokir rencana untuk menyertakan hak kaum gay, lesbian, dan transgender (LGBT) dalam proyek kemanusiaan, termasuk strategi perkotaan baru yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Rencana ini adalah perjanjian tidak mengikat untuk menetapkan pedoman bagi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan selama 20 tahun ke depan.
Dalam rancangan itu, pengakuan bagi hak masyarakat LGBT dan keberadaan homofobia dinilai akan menjadi langkah signifikan dari PBB. PBB mendorong negara-negara di dunia untuk mengakui LGBT sebagai kelompok manusia dan haknya mesti diakui. Saat ini, masih banyak negara yang menganggap hubungan sesama jenis sebagai tindakan melanggar hukum dan di beberapa negara bisa dikenakan hukuman mati.
Seperti yang dilansir NBC News, Belarusia yang didukung oleh berbagai negara termasuk Indonesia, Rusia, Mesir, Qatar, Pakistan, dan Uni Emirat Arab, menolak mengakui hak LGBT. Mereka hanya setuju pada konsep pencantuman kota-kota yang "ramah pada keluarga”.
Pada bagian "Seruan untuk Bertindak" dalam dokumen penolakan terhadap hak LGBT itu, ada pengakuan atas hak kelompok-kelompok tertentu yang kerap mengalami diskriminasi dan kerentanan khususnya di kota-kota besar. Di dalam daftar kelompok itu ada dan anak perempuan, kaum difabel, masyarakat adat, tunawisma, penghuni daerah kumuh, pengungsi dan pemuda.
Tapi dokumen yang juga diajukan oleh Indonesia itu tidak menyebutkan kaum LGBT. Ini berarti Indonesia masih bermuka dua soal LGBT. Tidak ada aturan yang menjerat LGBT, tapi enggan mengakui hak mereka.
Sumber: https://tirto.id/
0 comments