Fakta Kesehatan Mental

Jangan Pingit Seksualitas Demi Moralitas

April 10, 2018Blued Indonesia


Layaknya calon pengantin yang dipingit, semua hal yang berkaitan dengan seksualitas tak dibiarkan diumbar bebas. Semuanya dibicarakan dengan diam-diam, di tempat-tempat yang sepi dan dianggap aman dari yang tak berkepentingan. Seksualitas ditabukan ketika anak-anak di bawah umur berusaha menanyakannya. Bahkan anak yang sudah memasuki usia dewasa awal pun dibuat segan untuk sekedar menyebut kata seks di depan orang tua mereka sendiri. Seksualitas hanya resmi dimiliki oleh pasangan yang sudah menikah, selebihnya dianggap ilegal untuk membuka mulutnya.

Alasannya adalah demi moralitas. Seksualitas masih dianggap sebagai sesuatu yang nista dan tidak pantas jika diwacanakan oleh pasangan yang belum ‘halal’. Orang dewasa akan gelisah dan menganggap diri mereka telah menyeret anak-anak untuk menghalalkan seks jika membicarakannya secara terbuka. Karena itu, meski mengagungkannya dalam hati, pikiran dan tempat tidur, orang dewasa lebih memilih bungkam.

Seksualitas diungkap setengah berbisik agar tak menembus dinding kamar atau terbawa angin malam. Terkadang mereka pun juga tidak tahu banyak tentang seksualitas sehingga tidak bisa menjelaskan apa pun pada anak-anak.

Seksualitas dipingit dari anak-anak kecil, dari anak muda yang sudah mulai dewasa, dan dari mereka yang belum menikah. Orang tua sebagai pengendali keluarga dan guru sebagai pendidik di sekolah pun tunduk pada budaya memingit seksualitas, demi moralitas.

Wacana Seks dan Moral di Era Digital


Era digital dengan keterbukaan informasi yang luas, seharusnya membuat orang tua dan guru sadar bahwa peran mereka harus berganti. Dari pemingit menjadi penyaring, tugas mereka adalah menyaring informasi yang diterima anak dan menjadi pemberi informasi utama yang paling dipercaya. Ketika orang tua atau guru cenderung memberikan jawaban yang bohong atau menutup-nutupi saat ditanya tentang seksualitas, anak tidak akan percaya lagi pada mereka.

Rasa penasaran anak tidak akan berhenti, mereka akan mencari sumber informasi lain. Era digital memfasilitasi semuanya dan orang tua atau guru tak akan lagi dapat mengontrolnya. Suatu saat ketika mereka butuh informasi mengenai seksualitas, anak tidak akan lagi bertanya pada orang tua dan guru lagi, karena pembicaraan itu dianggap tidak asyik dan sia-sia belaka. Sumber informasi lain seperti internet dan teman sepermainan jadi alternatif terbaik. Sayangnya pengetahuan tersebut tidak akan bisa dikontrol kelayakannya untuk diterima dan diterapkan dalam kehidupan anak.

Kita tidak perlu sepakat tentang batas-batas seksualitas yang harus dibicarakan. Setiap orang punya pegangan nilai dan norma yang berbeda, kita harus saling menghargai hal tersebut. Tapi kita harus sepakat bahwa seksualitas harus dibicarakan untuk menumbuhkan kesadaran tentang fenomena kekerasan seksual, dari mulai pelecehan, perkosaan hingga perbudakan seksual. Rasa tanggung jawab atas tubuhnya sendiri dan juga tubuh orang lain harus ditanamkan sejak dini.

Seksualitas Bukan Hanya Soal Seks


Seksualitas dan seks adalah dua hal yang berbeda, seksualitas tidak sesempit pengertian hubungan kelamin. Menurut WHO, seksualitas merupakan aspek penting sepanjang hidup menjadi manusia dan mencakup seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan, keintiman, dan reproduksi. Ini artinya ada banyak sekali hal penting dan mendesak yang harus dibicarakan ketika topik seksualitas ditawarkan.

Salah satu tujuan penting membicarakan seksualitas adalah agar setiap orang bisa menjaga, menghargai serta bertanggungjawab terhadap tubuh mereka sendiri dan juga tubuh orang lain. Pemahaman terhadap seksualitas akan membuat seseorang lebih sadar terhadap bahaya kekerasan seksual dan lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas seksual hingga tidak menyakiti orang lain. Pengetahuan tentang seksualitas yang diterima oleh seseorang sejak awal akan berpengaruh besar terhadap pola seksual saat dewasa nanti, seperti yang diungkap oleh Sigmund Freud dalam teori seksualitasnya.

Setiap manusia tentu akan masuk dalam fase ketika mereka mulai merasakan jatuh cinta yang selanjutnya memunculkan rasa penasaran akan hal-hal yang berbau seksual. Entah itu berbentuk fisik seperti sentuhan dan ciuman ataupun verbal semacam rayuan. Kebanyakan anak tidak akan nyaman mendiskusikan hal tersebut dengan orang tuanya karena terkesan melanggar moralitas. Akibatnya mereka akan melakukannya sembunyi-sembunyi dan “berkonsultasi” pada gawai atau teman. Sekali lagi, kita tidak bisa memastikan informasi apa yang mereka terima dari kedua sumber tersebut.

Bahkan ketika akan menikah, orang tua jarang sekali mengambil peran untuk menjelaskan apa pun yang berkaitan dengan seksualitas pada anaknya. Mereka menganggap bahwa anak-anak itu sudah dewasa dan tahu dengan sendirinya.

Edukasi Seksualitas Tak Sebatas Materi Reproduksi

Tak sedikit yang menganggap bahwa cara mengedukasi anak tentang seksualitas adalah melalui materi reproduksi yang bisa didapatkan dalam pelajaran Biologi. Seksualitas dianggap cukup diperkenalkan dengan gambar alat kelamin beserta menghafal fungsi-fungsinya. Guru sudah cukup puas dan merasa berhasil ketika materi itu selesai diujikan meski saat disampaikan dalam kelas, seks masih jadi guyonan. Banyak yang tak sadar, bahwa kelas yang sedang mendapat materi reproduksi justru menjadi awal pembenaran seksualitas yang salah.

Dalam kelas, ketika gambar kelamin dipertontonkan akan mulai ada yang cekikikan dan biasanya mereka adalah murid laki-laki. Berlanjut saat “seks” dengan lembut disinggung, mereka akan kembali cekikikan sementara para murid perempuan akan malu-malu. Tak banyak yang akan berani mendongakkan kepalanya. Kelas reproduksi juga tak dimanfaatkan dengan baik untuk mengeluarkan seksualitas dari pingitan. Buktinya murid perempuan masih malu jika darah menstruasinya tembus di rok, meski ia sudah ikut kelas reproduksi.

Sudah sepantasnya orang tua dan pihak-pihak lainnya yang dianggap dewasa mulai terbuka untuk membicarakan seksualitas. Ketika anak bertanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas seperti proses membuat anak, kelahiran, perubahan fisik yang mereka alami saat remaja dan lainnya, orang tua harus memberikan jawaban yang benar dan jujur. Tentu orang dewasa harus belajar melakukannya, bagaimana menyesuaikan jawaban yang benar sekaligus jujur tapi juga sesuai dengan konteks umur.

Sumber: http://magdalene.co/

You Might Also Like

0 comments