Kampanye
menuju kesetaraan sosial dalam masyarakat sangat bergantung pada
edukasi fakta dan berhentinya penyebaran info yang salah tentang
beberapa kondisi yang mengalami diskriminasi, khususnya orang-orang
homoseksual — gay dan lesbian.
Salah satu tantangan terbesar untuk membantu masyarakat lebih memahami LGBT adalah
untuk mencoba memahami gagasan besarnya, melampaui sejumlah informasi
ambigu yang banyak beredar. Dalam rangka memiliki dialog yang sehat
tentang isu-isu LGBT, penting untuk mengakhiri kebohongan, stereotip, mitos, dan kesalahpahaman.
Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul mengenai LGBT, klik link nya untuk menuju ke jawaban yang kamu cari:
Apa itu homoseksualitas?
Apakah menjadi gay normal?
Kapan seseorang pertama kali tahu bahwa ia homoseksual?
Apa yang menyebabkan homoseksualitas?
Jika saya adalah pria "normal", bisakah suatu saat nanti menjadi gay?
Apakah homoseksualitas sebuah gangguan kejiwaan?
Apakah menjadi gay adalah pilihan gaya hidup?
Gen dan hormon memiliki pengaruh pada pembentukan orientasi seksual.
Dapatkah saya mengetahui apa bedanya pria gay dan bukan?
Apakah semua pria pedofil adalah gay?
Apakah homoseksualitas dapat disembuhkan?
Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul mengenai LGBT, klik link nya untuk menuju ke jawaban yang kamu cari:
Apa itu homoseksualitas?
Apakah menjadi gay normal?
Kapan seseorang pertama kali tahu bahwa ia homoseksual?
Apa yang menyebabkan homoseksualitas?
Jika saya adalah pria "normal", bisakah suatu saat nanti menjadi gay?
Apakah homoseksualitas sebuah gangguan kejiwaan?
Apakah menjadi gay adalah pilihan gaya hidup?
Gen dan hormon memiliki pengaruh pada pembentukan orientasi seksual.
Dapatkah saya mengetahui apa bedanya pria gay dan bukan?
Apakah semua pria pedofil adalah gay?
Apakah homoseksualitas dapat disembuhkan?
Photo by
Sharon McCutcheon
from
Pexels
Apa itu homoseksualitas?
Homoseksualitas adalah ketertarikan emosional, romantis, intelektual, dan/atau seksual pada orang-orang dari gender yang sama. Istilah homoseksual memiliki
akar medis dari pergantian abad terakhir (awal 1900-an) dan kebanyakan orang sekarang biasanya menggunakan istilah gay dan lesbian sebagai gantinya. ‘Gay’ umumnya digunakan untuk menggambarkan pria yang tertarik pada pria, dan ‘lesbian’ untuk wanita yang tertarik pada wanita.
Apakah menjadi gay normal?
Orang-orang
gay, lesbian, atau transgender (LGBT) adalah anggota dari setiap
komunitas masyarakat. Mereka beragam, datang dari semua lapisan
masyarakat, dan termasuk orang-orang dari segala usia, ras dan etnis,
status sosial ekonomi, dan dari beragam penjuru daerah. Kita semua
mengenal sejumlah orang LGBT, apakah kita menyadarinya atau tidak.
Perilaku
seks sesama gender dan fluiditas gender juga tercatat muncul di beragam kebudayaan yang
dikenal di dunia (lukisan batu prasejarah di Afrika Selatan dan Mesir,
teks-teks medis India Kuno, dan literatur dari rezim pemerintahan
Ottoman, misalnya).
Kapan seseorang pertama kali tahu bahwa ia homoseksual?
Seseorang
bisa menyadari orientasi seksual dan identitas gender di berbagai
momen dalam hidup mereka. Sementara beberapa orang menyadari preferensi
seksual mereka sejak usia dini, orang lain baru mulai memahami identitas
gender dan orientasi seksual mereka di usia dewasa. Penting untuk
dicatat bahwa tidak ada satu hal/kejadian yang dialami dalam kehidupan
yang bisa ‘membuat’ seseorang menjadi gay, lesbian, atau biseksual.
Meskipun
suatu peristiwa dalam kehidupan dapat membantu mereka
menyadari identitas gender dan orientasi seksual, mereka tidak perlu
mengalami pengalaman seksual terlebih dahulu untuk menyadari orientasi
seksual mereka. Sama halnya dengan laki-laki heteroseksual yang tahu
bahwa ia tertarik pada wanita, meskipun ia masih perjaka. Atau seorang
wanita heteroseksual tahu bahwa dia tertarik pada pria, meskipun masih
perawan. Mereka tahu saja. Sama halnya dengan gay, lesbian, dan
biseksual.
Apa yang menyebabkan homoseksualitas?
Faktor-faktor
yang menentukan orientasi seksual adalah fenomena kompleks. Ada
pemahaman yang berkembang bahwa manusia memiliki seksualitas dasar yang
dapat dinyatakan dalam berbagai hubungan: homoseksual, biseksual, dan
heteroseksual. Meskipun penyebabnya tidak diketahui, beberapa peneliti
percaya orientasi seksual dasar seorang individu cenderung muncul pada
saat lahir.
Jika saya adalah pria “normal”, bisakah suatu saat nanti menjadi gay?
Begitu sudah terbentuk, orientasi seksual dan/atau identitas seksual cenderung tidak berubah.
Banyak
orang berpikir bahwa homoseksualitas dan heteroseksualitas berada di
kedua ujung bertolak belakang dari spektrum seksualitas, dengan
biseksualitas berada di tengah. Pada kenyataannya, seksualitas manusia
jauh lebih kompleks. Sebagai contoh, beberapa pria mungkin menganggap
diri mereka sebagai heteroseksual namun memiliki daya tarik homoseksual
(baik itu secara intelektual, emosi, atau platonik) terhadap laki-laki
lain. Ada juga sejumlah kecil pria yang hanya mencari keintiman fisik
dengan laki-laki lain. Hal ini dapat dianggap sebagai perilaku seksual
murni dan orang-orang ini mungkin tidak selalu mengidentifikasi diri
mereka sebagai gay. Demikian juga, banyak orang gay tidak perlu
mengalami keintiman fisik dengan pria gay lain untuk menunjukkan
orientasi seksual mereka.
Apakah homoseksualitas sebuah gangguan kejiwaan?
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dilansir dari Jakarta Post,
mengklasifikasikan homoseksualitas, biseksualitas, dan transgender
sebagai kondisi gangguan mental, yang dikatakan dapat disembuhkan
melalui pengobatan yang tepat. Akan tetapi, banyak penelitian besar,
terpisah, dan terbaru menunjukkan bahwa orientasi seksual terjadi secara
alami.
Bahkan,
penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk mengubah orientasi seksual —
disebut “terapi konversi” atau “terapi reparatif” — bisa berbahaya, dan
terkait dengan depresi, bunuh diri, kecemasan, isolasi sosial, dan
penurunan kapasitas untuk keintiman. Untuk alasan ini, buku panduan
psikitari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
tidak lagi mengklasifikasikan orang-orang lesbian, gay, biseksual, atau
transgender sebagai gangguan kejiwaan. Homoseksualitas pertama kali
tercantum dalam DSM sebagai kondisi kejiwaan tahun 1968, dan dihapus
pada tahun 1987. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian menyusul
untuk menghapuskan homoseksualitas tahun 1992.
Namun,
seorang individu yang mempertanyakan orientasi seksualnya mungkin
mengalami kecemasan, ketidakpastian, kebingungan, dan rendah diri di
antara banyak emosi lainnya. Ketika emosi ini tidak ditangani dengan
benar, mereka dapat menyebabkan depresi.
Apakah menjadi gay adalah pilihan gaya hidup?
Meski beberapa
mengklaim bahwa menjadi gay adalah sebuah pilihan, atau bahwa
homoseksualitas dapat disembuhkan, bukti ilmiah yang
tersedia adalah ketertarikan sesama jenis ternyata merupakan hasil dari
pengaruh genetik dan biologis. Dilansir dari Time,
terobosan besar pertama yang menyanggah bahwa “homoseksualitas adalah
pilihan hidup” dibuat oleh neuroscientist Simon LeVay dalam studinya
tahun 1991. Ia menemukan bahwa sebuah area dalam hipotalamus otak
berkaitan dengan seksualitas, INAH3, berukuran lebih kecil pada pria dan
wanita gay dibandingnkan dengan orang-orang heteroseksual. Tahun
berikutnya, peneliti UCLA menemukan adanya hubungan di daerah lain dari
otak yang berhubungan dengan seksualitas, bagian tengah potongan sagital
komisura anterior, 18 persen lebih besar pada pria gay daripada wanita
heterseksual dan 34% lebih besar jika dibandingkan dengan pria “normal”.
Gen dan hormon memiliki pengaruh pada pembentukan orientasi seksual
Tidak
ada studi telah menemukan spesifik “gen gay” yang dipercaya bisa
membuat seseorang menjadi gay. Tetapi beberapa gen dapat meningkatkan
kemungkinan seseorang menjadi gay. Misalnya, dilansir dari American Psychiatric Association (APA),
sebuah studi tahun 2014 di jurnal Psychological Medicine menunjukkan
bahwa gen pada kromosom X (salah satu kromosom seks) yang disebut Xq28
dan gen pada kromosom 8 tampaknya ditemukan dalam prevalensi lebih
tinggi pada pria gay. Penelitian tersebut, yang melibatkan lebih dari
400 pasang saudara kandung homoseksual, diikuti laporan tahun 1993 oleh
ahli genetika Dean Hamer menyarankan adanya “gen gay.” ini dan sejumlah
penelitian lain menunjukkan bahwa gen memainkan peran, meskipun tidak
harus satu-satunya, dalam menentukan orientasi seksual. Lebih lanjut,
studi anak kembar menunjukkan, bahwa urutan gen tidak bisa menjadi
penjelasan lengkap. Misalnya, kembar identik seorang pria gay, meskipun
memiliki genom yang sama, hanya memiliki kesempatan 20-50% dalam dirinya
untuk menjadi gay. Dan seperti kebanyakan sifat ditentukan secara
genetik, ada kemungkinan bahwa lebih dari satu gen memainkan peran.
Ada
bukti lain yang menunjukkan paparan hormon tertentu selama perkembangan
janin juga memainkan peran. Sebuah ulasan sains tahun 2011 oleh
peneliti Belgia Jacques Balthazart terbitan jurnal Endocrinology
menyimpulkan bahwa “subjek homoseksual, rata-rata, terkena kondisi
endokrin atipikal selama perkembangan,” dan bahwa “perubahan endokrin
yang signifikan selama hidup embrio sering mengakibatkan peningkatan
insiden homoseksualitas”. Itulah mengapa beberapa telah menyarankan
bahwa epigenetik mungkin terlibat. Selama perkembangan, kromosom tunduk
terhadap perubahan kimia yang tidak mempengaruhi urutan nukleotida
tetapi dapat mengaktifkan atau menonaktifkan gen.
Selain
itu, faktor genetik dan hormonal umumnya berinteraksi dengan faktor
lingkungan yang belum ditentukan, meskipun tidak ada bukti nyata dari
pola pengasuhan orangtua yang salah, trauma masa kecil, atau paparan
terhadap individu gay lain dapat menyebabkan homoseksualitas.
Dapatkah saya mengetahui apa bedanya pria yang gay dan bukan?
“Pria
yang bertindak dengan cara yang feminin pasti gay. Wanita maskulin
dengan potongan rambut cepak dan suara berat berarti lesbian.” Ini
anggapan yang dipercaya banyak orang.
Bertentangan
dengan kepercayaan umum, kamu tidak bisa membedakan apakah seseorang
homoseksual atau biseksual. Stereotip ini hanya berlaku untuk sekitar
15% dari kaum gay dan 5% dari lesbian. Stereotip ini membingungkan
konsep orientasi seksual (apakah kamu lebih suka sesama gender atau yang
berseberangan sebagai mitra seksual) dengan peran gender (menunjukkan perilaku maskulin atau feminin).
Lesbian,
gay, dan biseks memiliki kepribadian yang bervariasi, dalam cara
berpakaian, tingkah laku, dan gaya hidup. Sama halnya dengan orang
heteroseksual. Terlepas dari keragaman ini, stereotip tentang orang
banci atau wanita maskulin tetap bertahan. Meskipun beberapa orang gay
mencerminkan karakteristik ini, mayoritas lesbian dan pria gay tidak
sesuai dengan stereotip tersebut. Di sisi lain, banyak pria “kewanitaan”
dan wanita yang maskulin mengidentifikasi diri mereka sebagai
heteroseksual. Ada juga beberapa individu heteroseksual (lurus) yang
mungkin berperilaku dengan cara yang dianggap stereotip gay atau
biseksual.
Apakah semua pria pedofil adalah gay?
Pada
kenyataannya, dua fenomena ini tidak memiliki kesamaan: peluang pria
homoseksual untuk melakukan pelecehan seksual anak tidak lebih besar
daripada pria yang “lurus”. Menurut American Psychological Association,
anak-anak lebih mungkin dianiaya oleh orangtua, tetangga, atau kerabat
dekatnya, dibanding teman-teman LGBT-nya.
Dilansir dari Live Science,
sebuah studi 1989 yang dipimpin oleh Kurt Freund dari Clarke Institute
of Psychiatry di Kanada, para ilmuwan menunjukkan gambar anak-anak pada
pria dewasa gay dan heteroseksual, dan diukur gairah seksual mereka.
Pria homoseksual tidak bereaksi lebih kuat untuk gambar anak-anak
laki-laki daripada pria heteroseksual bereaksi terhadap gambar anak-anak
perempuan. Sebuah studi tahun 1994, dipimpin oleh Carole Jenny dari
University of Colorado Health Sciences Center, meneliti 269 kasus
anak-anak yang dilecehkan secara seksual oleh orang dewasa. Dalam 82
persen kasus, tersangka pelaku adalah orang dewasa heteroseksual dari
kerabat dekat anak, berdasarkan laporan yang diterbitkan dalam jurnal
Pediatrics. Hanya dua dari 269 kasus, pelaku diidentifikasi sebagai gay
atau lesbian. 97 persen dari pelaku pelecehan anak adalah pria
heteroseksual dewasa yang menargetkan anak-anak perempuan.
Dilansir dari SPL Center,
The Child Molestation Research & Prevention Institute mencatat
bahwa 90% dari penganiaya anak menargetkan anak-anak di jaringan
keluarga dan teman mereka sendiri, dan mayoritas adalah pria dewasa yang
sudah menikah dengan wanita.
Apakah homoseksualitas dapat disembuhkan?
Terapi
konversi adalah praktik yang mengklaim dapat mengubah homoseksual
menjadi heteroseksual dalam hitungan bulan. Ini mencakup serangkaian
prosedur meragukan — terapi kejutan listrik atau penggunaan obat
perangsang mual-muntah, resep hormon testosteron, atau terapi wicara.
Pulkit Sharma, seorang psikolog klinis dan terapis psikoanalisis asal Delhi, dilansir dari Daily Mail, mengatakan, “Sama sekali tidak ada bukti ilmiah bahwa perawatan ini akan efektif.”
“Reparasi”
atau terapi reorientasi seksual telah ditolak oleh semua medis,
psikologis, psikiatri dan profesional organisasi konseling Amerika
Serikat terkemuka. Pada tahun 2009, misalnya, American Psychological
Association menyimpulkan bahwa ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa
kasus-kasus individu gay yang “sembuh” kembali menjadi pria lurus adalah
kejadian yang sangat langka dan bahwa, “Banyak individu yang masih
terus mengalami daya tarik seksual sesama jenis,” setelah terapi
reparatif. Resolusi APA menambahkan bahwa “tidak ada cukup bukti sains
untuk mendukung penggunaan intervensi psikologis untuk mengubah
orientasi seksual” dan meminta profesional kesehatan mental untuk
menghindari mempromosikan khasiat upaya perubahan orientasi seksual yang
keliru dengan menjanjikan perubahan dalam orientasi seksual.
Sejumlah
besar profesional medis, organisasi ilmiah, dan konseling di AS dan
penjuru dunia telah mengeluarkan pernyataan mengenai bahaya yang dapat
disebabkan oleh terapi reparatif, terutama jika hal ini didasarkan pada
asumsi bahwa homoseksualitas adalah hal yang tidak dapat diterima. Pada
awal tahun 1993, American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa,
“Terapi yang diarahkan secara khusus untuk mengubah orientasi seksual
merupakan kontraindikasi, karena dapat memprovokasi rasa bersalah dan
kecemasan sementara memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali potensi
untuk mencapai perubahan orientasi.”
Upaya
untuk mengubah orientasi seksual seseorang, baik dengan terapi atau
perkosaan “korektif” yang dilakukan terhadap kaum gay dan lesbian yang
bertujuan untuk “meluruskan” mereka, melibatkan pelanggaran hak asasi
manusia dan dapat menyebabkan trauma parah; menyebabkan hilangnya
perasaan seksual, depresi, kecemasan, dan kecenderungan bunuh diri.
Source: www.hellosehat.com
0 comments