Sepanjang 2017, catatan penangkapan, penggerebekan, dan persekusi warga karena urusan seksualitasnya bertambah panjang. Bagi sebagian masyarakat, seks adalah untuk mereka yang heteroseksual dan telah menikah saja.
Landasan berpikir yang mereka gunakan beragam, mulai dari ajaran agama dan moralitas, budaya “ketimuran”, hukum positif yang berlaku, sampai narasi penyakit yang konon banyak menjangkiti kaum homoseksual.
Di lain sisi, sebagian masyarakat yang lain percaya bahwa seksualitas adalah hak privasi individu yang tidak sepatutnya diganggu gugat pihak luar. Penegakan hak asasi manusia menjadi alasan yang kerap kali disuarakan aktivis-aktivis gender, pembela kaum minoritas orientasi seksual, dan sebagian awam.
Dua cara pandang ini terus berkontestasi sejak lama, dan pada tahun ini, sejumlah masyarakat konservatif kian tampak tak segan menerapkan cara pandangnya kendati itu harus mencederai hak privat orang lain dan membunuh karakternya.
Tindakan warga mempermalukan pasangan di depan umum lantaran diduga atau ketahuan melakukan aktivitas seksual beberapa kali menghiasi pemberitaan di media-media massa. Pasangan tertuduh diarak dalam keadaan telanjang dengan tujuan membuat mereka jera.
Yang paling bergaung dan belum lama ini diberitakan adalah kasus persekusi pasangan muda-mudi di Cikupa, Tangerang, pada November 2017 lalu.
Pasangan ini dituding berbuat mesum di kontrakan si perempuan oleh ketua RT setempat. Karena tuduhan itu, sejumlah warga mengarak mereka dari rumah kontrakan sampai ke kediaman ketua RW. Pakaian keduanya dilucuti seraya mereka terus dipaksa mengaku berbuat mesum—hal yang pada kenyataannya tidak mereka lakukan.
Sejoli yang diarak ini tidak hanya mesti menanggung malu pada saat kejadian saja. Pasalnya, sebagian warga yang mempersekusi mereka juga mendokumentasikan peristiwa pengarakan dan penelanjangan tersebut sampai akhirnya viral di internet.
Pada bulan-bulan sebelumnya, berita-berita lain terkait warga dan aparat mengurusi seksualitas warga juga telah beredar. Dilansir Antara, pada Februari 2017, polisi merazia tempat-tempat kos di daerah Purwakarta dengan alasan mencegah terjadinya prostitusi terselubung.
Razia tempat kos ini juga dilakukan seiring dengan laporan warga bahwa tempat kos di daerah tersebut disalahgunakan sebagai tempat mesum. Sebelumnya melakukan razia ini, sudah ada empat pasangan yang ditangkap polisi karena diduga berbuat mesum.
Berdasarkan laporan masyarakat pula, polisi menggerebek dan menangkapi 141 orang yang diduga homoseksual dan tengah berpesta di sebuah pusat kebugaran dan spa di Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada bulan Mei 2017.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo Yuwono menerangkan kepada Tirto saat itu, “[Polisi] Telah melakukan penggerebekan kasus prostitusi kaum gay [pesta seks homoseksual LGBT] dengan nama event "The Wild One" mengamankan 141 orang yang melanggar UU No 4 Tahun 2008 tentang Pornografi."
Sama seperti kasus di Cikupa, orang-orang yang ditangkap saat berpesta di Kelapa Gading juga mesti menanggung malu ganda karena foto-foto mereka yang tengah telanjang kadung beredar di media sosial.
Juni 2017, lima perempuan diusir warga dari lingkungan tempat tinggalnya di Medan Area, Medan, karena dua dari mereka didapati berciuman dengan sesama jenisnya oleh seorang warga. Rumor segera menyebar ke warga lainnya, sampai pula ke telinga Babinsa yang lantas datang ke lokasi untuk mengamankan keadaan.
September 2017, petugas gabungan bersama warga menggerebek sebuah kontrakan di Kecamatan Cigombong, Bogor, yang dihuni enam pasang perempuan. Warga menduga mereka merupakan penyuka sesama jenis dan marah akan kehadiran mereka. Sebelum sempat dihakimi warga, para perempuan ini berhasil diamankan petugas.
Di samping kasus-kasus ini, upaya untuk turut mengurusi seksualitas dan relasi orang lain juga sempat dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat lewat permohonan judicial review pasal kesusilaan.
Sebenarnya, permohonan ini sudah diajukan sejak 2016 silam dan telah menjalani 23 kali persidangan di MK. Namun, keputusan MK baru keluar pada awal Desember 2017 ini: menolak permohonan pemohon sehingga upaya kriminalisasi pasangan tidak menikah dan homoseksual yang berhubungan seks kandas.
Walau demikian, bukan berarti upaya ini tidak bernyawa ganda. Intensi mengurusi seksualitas warga yang serupa masih terlihat dalam RUU KUHP yang tengah digodok di DPR.
Masih pada bulan yang sama, mahasiswa DKV UPN Veteran Surabaya juga berusaha mengurusi seksualitas orang lain. Lewat kampanye CELUP (cekrek-lapor-upload) di media sosial, mereka mengajak warganet untuk mengunggah foto-foto pasangan yang menurut mereka melakukan tindakan asusila di ruang publik.
Upaya ini bertujuan untuk mempermalukan dan membuat jera pasangan tersebut, sebagaimana tagline yang dipasang penggagas pada banner kampanyenya, “Pergoki Yuk! Biar Kapok!”.
Terkait pengambilan gambar diam-diam dan mengunggahnya ke dunia digital, Dhyta Caturani, pelatih privasi dan keamanan, berpendapat bahwa hal ini tergolong pelanggaran privasi, tidak hanya di internet, tetapi juga di dunia nyata. Pasalnya, tidak ada persetujuan atau consent dari objek yang difoto.
Kasus-kasus yang telah disebutkan ini menggambarkan situasi di negeri ini belum menjamin sepenuhnya privasi warga terkait seksualitasnya, baik heteroseksual maupun homoseksual. Rumah yang dianggap sebagai ruang privat pun bisa ditembus oleh warga lain atau aparat dengan alasan-alasan tertentu.
Kendati tidak menyinggung langsung kehidupan pribadi mereka, warga yang melakukan persekusi atau membuat laporan tetap menggunakan alasan “keresahan” karena orang-orang yang disasar tetap menjadi bagian dari masyarakat. Dalam pandangan ideal para pelaku persekusi atau pelapor, pasangan-pasangan heteroseksual dan homoseksual mesti tunduk pada nilai dan norma yang dominan.
Negara Harus Menjamin Perlindungan Warga
Terkait faktor pendorong banyaknya kasus persekusi berdasarkan seksualitas, Ketua Komnas Perempuan, Azriana berpendapat, “Ada beberapa hal yang menyebabkannya, antara lain karena isu seksualitas selalu dikaitkan dengan isu moralitas dan agama. Meski sebenarnya, isu seksualitas punya cakupan yang lebih luas dari sekadar isu moralitas ataupun tafsir agama. Dalam masyarakat yang minim informasi dan daya kritis, isu agama sangat mudah digunakan untuk memprovokasi dan menggerakkan massa sebagaimana yang terlihat dalam beberapa momen politik akhir-akhir ini.”
Pada beberapa kasus, memang terlihat aparat memberi perlindungan terhadap korban persekusi. Tetapi pada kasus-kasus lain, tetap ditemukan aksi-aksi main hakim sendiri dari warga yang dibiarkan oleh aparat. Hal ini mengindikasikan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku persekusi.
Ambil contoh kasus pengusiran pasangan dari lingkungan tempat tinggalnya. Meski tidak dikenakan sanksi hukum setelah diamankan, penegak hukum belum menunjukkan jaminan bagi mereka—kaum minoritas orientasi seksual—untuk bisa tinggal dengan tenteram di mana pun di negeri ini.
Kenyataan ini menjadi kontras dengan konstitusi. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28G dikatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Idealnya, hal ini menjadi pegangan tatkala pasangan mengalami intimidasi dari pihak luar. Namun pada praktiknya, masih ada kelompok-kelompok masyarakat—seperti pasangan homoseksual—yang tidak dianggap sebagai warga negara yang memiliki hak seperti ini.
Di samping itu, imbuh Azriana, “Keberadaan sejumlah regulasi yang mengatur soal moralitas dengan rumusan yang multitafsir dan memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penegakannya juga menjadi pemicu terjadi dan berulangnya tindakan persekusi.”
Alih-alih menjamin hak konstitusi setiap orang saat terancam atau mengalami diskriminasi, negara justru telah masuk ke ranah pribadi warganya.
“Negara mengintervensi [ranah pribadi] baik secara langsung melalui sejumlah regulasi di tingkat nasional dan daerah yang mengatur soal keyakinan/agama, busana, dan juga relasi personal, maupun secara tidak langsung melalui pembiaran terhadap tindakan-tindakan persekusi yang telah dilakukan aktor-aktor non-negara. Ketika negara membiarkan persekusi terjadi, negara sesungguhnya sedang memupuk keretakan kohesi sosial, konflik horizontal dan sedang meruntuhkan hukum sebagai supremasi,” jabar Azriana.
Kerap kali tindakan persekusi atau main hakim sendiri tidak disadari pelaku akan membawa efek yang kompleks. Menurut Azriana, rata-rata korban persekusi mesti hengkang dari tempat tinggal dan pekerjaannya untuk menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan.
Tidak hanya korban yang mengalami ketakutan akibat ancaman ini, tetapi juga keluarganya. Stigma yang dilekatkan kepada korban setelah persekusi berdasarkan seksualitas terjadi akan terus menjadi landasan perlakuan diskriminatif terhadapnya. Inilah yang memungkinkan terjadinya persekusi berkelanjutan.
Sumber: https://tirto.id/
0 comments